Minggu, 12 September 2010

Kedudukan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I
PENDAHULUAN



  1. Latar Belakang.
Dalam era informasi (information age), keberadaan suatu informasi mempunyai arti dan peranan yang sangat penting didalam aspek kehidupan sehingga ketergantungan akan tersedianya informasi semakin meningkat. Perubahan bentuk masyarakat menjadi suatu masyarakat informasi (information society) memicu perkembangan teknologi informasi (information technology revolution) yang menciptakan perangkat teknologi yang kian canggih dan informasi yang berkualitas.
”Kita telah berada dalam teknologi elektronik yang berbasiskan lingkungan digital, contohnya komputer pribadi, mesin fax, penggunaan kartu kredit, dan hal-hal lainnya
Hal yang membuat internet memiliki peran yang sangat penting adalah potensi yang dimilikinya sebagai media teknologi informasi, antara lain :
1.         keberadaannya sebagai jaringan elektronik publik yang sangat besar;
2.         mampu memenuhi berbagai kebutuhan berinformasi dan berkomunikasi secara murah, cepat, dan mudah diakses, dan;
3. menggunakan data elektronik sebagai media penyampaian pesan/data sehingga dapat dilakukan pengiriman, penerimaan, dan penyebarluasan informasi secara mudah dan ringkas.
Di Indonesia, perkembangan teknologi informasi semakin pesat dan pengggunanya pun semakin banyak tetapi perkembangan ini tidak diimbangi dengan perkembangan hukumnya data atau informasi elektronik akan diolah dan diproses dalam suatu sistem elektronik dalam bentuk gelombang digital (digital information). Dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat, diiringi dengan terjadinya perikatan antar pihak yang dilakukan dengan cara pertukaran informasi untuk melakukan transaksi perdagangan secara elektronik di ruang lingkup maya (cyber).
Transaksi elektronik yang sering disebut sebagai “online contract” sebenarnya ialah transaksi yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer-based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication-based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet.
Akan tetapi kerap timbul dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi tersebut salah satu contohnya seperti pembobolan rekening nasabah secara online melalui dunia maya (cyber). Secara teknis, informasi dan/atau sistem informasi itu sendiri sangat rentan untuk tidak berjalan sebagaimana seharusnya (malfunction), dapat diubah-ubah ataupun diterobos oleh pihak lain. Untuk melindungi kerahasiaan informasi pribadi dari ancaman pelanggaran kerahasiannya, dibutuhkan keamanan data (data security), keamanan komputer serta jaringannya. Dalam Asosiasi Teknologi Informasi Kanada pada Kongres Industri Informasi Internasional 2000 di Quebec, pernah menyatakan bahwa :
Information technology touches every aspect of human life and so can electronically enabled crime”
Demikian pula perkembangan zaman banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan”. Kegiatan perbankan yang memiliki potensi kejahatan dunia maya antara lain adalah layanan online shopping (berbelanja secara online) yang memberikan fasilitas pembayaran melalui kartu kredit (credit card fraud). Jenis kejahatan ini muncul akibat kemudahan sistem pembayaran menggunakan kartu kredit yang diberikan online shop. “Modusnya ialah pelaku menggunakan nomor kartu            kredit   korban      untuk   berbelanja        di online          shop ”. Pelaku dapat saja memperoleh nomor kartu kredit korban dengan model kejahatan kartu kredit yang konvensional atau melalui dunia maya.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi selain juga  memberikan dampak poitif tentu pada sisi Iainnya telah membuka peluang baru atau bahkan fasilitas bagi para pelaku kejahatan untuk menggunakan nya sebagai instrumen melakukan kejahatan yang berdimensi dan modus baru di wilayah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi tersebut, oleh karena itu diperlukan pranata hukum yang dapat memberikan proteksi;
Berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE), terciptalah suatu bidang kajian baru dalam hukum menyangkut dunia maya (law in cyberspace). Kehadiran bidang baru ini membawa dampak perubahan bagi hukum di dalam hal kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang ada di dunia siber.
Jika dahulu, perbuatan-perbuatan merugikan di dunia siber sulit untuk dibuktikan, maka dengan keberadaan UU ITE ini dapat terbantu. Oleh karena dunia siber ada  dimensi yang berbeda dengan dunia nyata maka pengaturan hukum dalam dunia siber tentu berbeda pula.
Terdapat karakteristik-karakteristik teknologi informasi yang harus mendapat pengkajian hukum lebih lanjut. Salah satunya, tentang electronic mail ( e-mail). Dengan tegas UU ITE memberikan pernyataan bahwa email merupakan salah satu dari alat bukti yang sah (pasal 5 ayat (1) UU ITE).
Keberadaan email sebagai salah satu bentuk dokumen elektronik memiliki suatu identitas baru yaitu sebagai salah satu bentuk alat bukti baru di dalam hukum pidana. Lantas, bagaimanakah kedudukan email di antara alat bukti lain yang di atur dalam hukum pidana? 

  1. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah diatas, dengan demikian dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
    1. Bagaimana Kedudukan  Alat bukti E-mail dalam perkara Pidana?


BAB II
PEMBAHASAN

Kedudukan  Alat bukti E-mail  dalam perkara Pidana

  1. Teori Pembuktian.

“Menurut Pitlo, pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya”.71 “Menurut Subekti, yang dimaksudkan dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden)
  2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen)
  3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering)
  4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht)
  5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast)Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum)
  6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).


  1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie)
”Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman pertengahan yang ditujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang”.  Sistem ini berbanding terbalik dengan Conviction in Time, dimana keyakinan hakim disampingkan dalam sistem ini. Menurut sistem ini, undang-undang menetapkan secara limitatif alat-alat bukti yang mana yang boleh dipakai hakim. Jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun hakim ternyata berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Menurut D. Simmon, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim dengan peraturan pembuktian yang keras. ”Sistem ini disebut juga dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie)”. ”Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat”.83



  1. Alat-alat Bukti
  1. Jenis-jenis Alat Bukti menurut KUHAP
Setiap macam alat-alat bukti disebutkan secara limitatif didalam KUHAP dan diuraikan menurut urutan dalam Pasal 184 KUHAP, antara lain :
  1. Keterangan Saksi
Pada umumnya, setiap orang dapat menjadi saksi di muka persidangan. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, adalah sebagai berikut :
1)        keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
2)        saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Contoh orang yang harus menyimpan rahasia jabatannya misalnya seorang dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah mengenai hal yang dipercayakan kepada mereka, misalnya pastor agama Katolik Roma yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Menurut Pasal 170 KUHAP di atas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi...” maka berarti apabila mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. “Oleh karena itu, kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif”. Kekecualian menjadi saksi dibawah sumpah juga ditambahkan dalam Pasal 171 KUHAP, yaitu :
anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
  1. Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan yang kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Didalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. “Menurut Yahya Harahap, apabila keterangan ahli bersifat “diminta’, ahli tersebut membuat “laporan” sesuai dengan yang dikehendaki penyidik”.

 Laporan tersebut menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Oleh penjelasan Pasal 186, laporan seperti itu “bernilai sebagai alat bukti” keterangan ahli yang diberi nama alat bukti keterangan ahli “berbentuk laporan”. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, seorang ahli diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. “Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim”. “Menurut Yahya Harahap, pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat”.93 Hal ini diatur dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP yang menentukan salah satu yang termasuk alat bukti surat ialah “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Hal ini tergantung pada kebijakan hakim dapat menilainya sebagai alat bukti keterangan ahli “berbentuk laporan” atau menyebutnya sebagai alat bukti surat. “Kedua alat bukti tersebut sama­sama bersifat “kekuatan pembuktian yang bebas” dan tidak mengikat”.  ”Keterangan yang sekalipun diberikan oleh beberapa ahli namun dalam
  1. Surat
Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, didalam Pasal 187 diuraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari empat butir. Asser-Anema memberikan pengertian mengenai surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. “Sedangkan surat menurut Prof. A. Pitlo adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan”. Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
1)      berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
2)      surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3)      surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
4)      urat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Jenis-jenis surat ini tercantum dalam Pasal 187 KUHAP sebagai alat bukti yang sah di persidangan.
Pasal 187 butir (a) dan (b) diatas disebut juga akta otentik, berupa berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum, seperti notaris, paspor, surat izin mengendarai (SIM), kartu tanda penduduk (KTP), akta lahir, dan sebagainya. Pasal 187 butir (c), misalnya keterangan ahli yang berupa laporan atau visum et repertum, kematian seseorang karena diracun, dan sebagainya. Pasal 187 butir (d) disebut juga surat atau akte dibawah tangan.
“Menurut Martiman Prodjohamodjojo, Pasal 187 butir (d), adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannya dengan alat bukti yang lain, maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain”.98 Menurut Andi Hamzah, selaras dengan bunyi Pasal 187 butir (d), maka surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh surat ini adalah keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. “Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sehelai surat tanda terima (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa cukup sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir (d) KUHAP”. Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam pasal 187 huruf (a), (b), dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Dari segi materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht). Adapun alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain, asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari keterangan formil. Selain itu, asas batas minimum pembuktian (bewijs minimum) yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dengan demikian, bagaimanapun sempurnanya alat bukti surat, namun alat bukti surat ini tidaklah dapat berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat bukti yang sah lainnya guna memenuhi batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
  1.  Petunjuk
Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Yahya Harahap mendefinisikan petunjuk dengan menambah beberapa kata, yakni petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya dapat diperoleh dari : 1) keterangan saksi; 2) surat; dan 3) keterangan terdakwa.
Apabila alat bukti yang menjadi sumber dari petunjuk tidak ada dalam persidangan pengadilan, maka dengan sendirinya tidak akan ada alat bukti petunjuk. Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti yang lain yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Pasal 188 ayat (3), penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

  1.  Keterangan Terdakwa
Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Terhadap bunyi Pasal 189 ayat (2), Yahya Harahap mengatakan, bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah :
1)      keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan;
2)      dan keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;
3)      serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.
Pengakuan tersangka dalam tingkat penyidikan dapat dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. “Alasan klise dicabutnya pengakuan tersebut adalah karena tersangka disiksa oleh petugas penyidik”.


  1. Pengertian Barang Bukti
Barang bukti adalah barang atau benda yang berhubungan dengan kejahatan.
Barang atau benda tersebut dapat dikategorikan sebagai corpus delicti yang berarti barang-barang atau benda-benda yang menjadi objek delik dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan kejahatan. Ada pula yang termasuk barang bukti ialah barang-barang yang dikategorikan sebagai instrumenta delicti yang berarti barang-barang atau benda-benda hasil kejahatan, barang atau benda yang berhubungan langsung dengan tindak
pidana.
Barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Barang bukti dalam proses pembuktian biasanya diperoleh melalui penyitaan. ”Dengan penyitaan maka penyidik akan mencari keterhubungan antara barang yang diketemukan dengan tindak pidana yang dilakukan”. Barang bukti mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dari alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli (visum et repertum), maupun keterangan terdakwa. Misalnya sebuah benda berupa senjata api atau senjata tajam setelah disita menjadi barang bukti kemudian ditunjukkan dan ditanyakan kepada saksi dan saksi tersebut memberikan keterangan bahwa barang bukti tersebut oleh tersangka telah digunakan untuk melakukan pembunuhan atau penganiayaan. Demikian pula mayat korban pembunuhan setelah dilakukan pemeriksaan ilmiah oleh Ahli Kedokteran Kehakiman (Laboratorium Forensik) kemudian hasil pemeriksaannya dituangkan dalam visum et repertum yang isinya bersesuaian dengan keterangan saksi yang diperkuat oleh keterangan tersangka/terdakwa. Disamping itu, dengan diajukannya barang bukti di muka persidangan, maka hakim melalui putusannya dapat secara sekaligus menetapkan status hukum dari barang bukti yang bersangkutan, ”yaitu apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerimanya atau dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan kembali {Pasal 194 jo 197 ayat (1) huruf (i) KUHAP}”.105






















E.     Alat Bukti Email Dalam KUHAP

Keberadaan alat bukti sangat penting terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Menurut PAF Lamintang, orang dapat mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang. Tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.
Adanya alat bukti yang sah sangat penting bagi hakim pidana dalam meyakinkan dirinya membuat putusan atas suatu perkara. Alat bukti ini harus sah (wettige bewijsmiddelen).  Hanya terbatas pada alat-alat bukti sebagaimana di sebut dalam Undang-undang (KUHAP atau Undang-undang lain). UU ITE melalui pasal 5 ayat (1) dan (2) ternyata memberikan 3 buah alat bukti baru yaitu; Informasi elektornik, dokumen elektronik dan hasil cetak dari keduanya.
Email pun termasuk sebagai alat bukti yang diakui dalam UU ITE, yakni sebagai salah satu bentuk dari dokumen elektornik. Lebih lanjut UU ITE  ternyata memberikan ‘akte lahir’ dari alat bukti yang baru ini sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sebagaimana di atur dalam KUHAP.
Di dalam hukum acara pembuktian perkara pidana kedudukan alat bukti begitu penting mengingat alat bukti ini yang menjadi dasar pertimbangan hakim pidana untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya (pasal 183 KUHAP).
Hukum acara pidana mengenal 5 macam alat bukti yang sah yaitu:
1.      keterangan saksi;
2.      keterangan ahli,
3.      surat,
4.      petunjuk, dan
5.      keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).



Apabila melihat kelima bentuk alat bukti ini, email masuk dalam kategori alat bukti surat sebagaimana di atur dalam Pasal 187 KUHAP. Alat bukti surat yang dimaksud adalah :
1.      Berita acara dan surat lain, dokumen dalam bentuk yang sesuai dibuat pejabat umum yang berwenang;
2.      Surat yang di buat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan tentang suatu keadaan;
3.      Surat keterangan ahli yang diminta secara resmi;
4.      Surat lain yang hanya berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat pembuktian lain.


Melihat penggolongan alat bukti surat yang diakui KUHAP diatas, maka email dapat digolongkan sebagai surat yang hanya berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat bukti lain. Hal ini dikarenakan, email pada awal proses pembuatannya tidak dimaksudkan sebagai alat bukti dari suatu peristiwa. Jadi baru dapat dianggap berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat pembuktian lain.
Email merupakan alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri namun membutuhkan alat bukti lainnya. Misalnya alat bukti keterangan saksi yang mengetahui pembuatan email itu atau keterangan saksi ahli yang menerangkan keaslian email sebagai suatu alat bukti.
Oleh karena itu apabila ada perkara pidana dengan bukti berupa email, akan dinilai sangat kurang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan pada tersangka. Namun bukan berarti pelaku yang melakukan tindak pidana ini (penghinaan misalnya) bisa bebas seenaknya.
Aparat kepolisian harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk menemukan bukti-bukti kuat yang mendukung terjadinya peristiwa pidana. Bisa dengan memperoleh saksi-saksi yang mengetahui peristiwa email itu (provider/penyelenggara sistem elektronik) atau pun dengan pengujian keaslian email yang ditulis oleh tersangka.








BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Email merupakan alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri, namun membutuhkan alat bukti lainnya. Misalnya alat bukti keterangan saksi yang mengetahui pembuatan email itu atau keterangan saksi ahli yang menerangkan keaslian email sebagai suatu alat bukti.
Oleh karena itu apabila ada perkara pidana dengan bukti berupa email, akan dinilai sangat kurang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan pada tersangka. Namun bukan berarti pelaku yang melakukan tindak pidana ini (penghinaan misalnya) bisa bebas seenaknya.

2 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
    Get directions, reviews and information for Borgata Hotel Casino & 여수 출장샵 Spa in Atlantic 태백 출장샵 City, NJ. 영주 출장안마 Borgata Hotel 토토사이트 Casino & Spa is Atlantic City's 용인 출장마사지 premier

    BalasHapus