Minggu, 12 September 2010

Kedudukan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I
PENDAHULUAN



  1. Latar Belakang.
Dalam era informasi (information age), keberadaan suatu informasi mempunyai arti dan peranan yang sangat penting didalam aspek kehidupan sehingga ketergantungan akan tersedianya informasi semakin meningkat. Perubahan bentuk masyarakat menjadi suatu masyarakat informasi (information society) memicu perkembangan teknologi informasi (information technology revolution) yang menciptakan perangkat teknologi yang kian canggih dan informasi yang berkualitas.
”Kita telah berada dalam teknologi elektronik yang berbasiskan lingkungan digital, contohnya komputer pribadi, mesin fax, penggunaan kartu kredit, dan hal-hal lainnya
Hal yang membuat internet memiliki peran yang sangat penting adalah potensi yang dimilikinya sebagai media teknologi informasi, antara lain :
1.         keberadaannya sebagai jaringan elektronik publik yang sangat besar;
2.         mampu memenuhi berbagai kebutuhan berinformasi dan berkomunikasi secara murah, cepat, dan mudah diakses, dan;
3. menggunakan data elektronik sebagai media penyampaian pesan/data sehingga dapat dilakukan pengiriman, penerimaan, dan penyebarluasan informasi secara mudah dan ringkas.
Di Indonesia, perkembangan teknologi informasi semakin pesat dan pengggunanya pun semakin banyak tetapi perkembangan ini tidak diimbangi dengan perkembangan hukumnya data atau informasi elektronik akan diolah dan diproses dalam suatu sistem elektronik dalam bentuk gelombang digital (digital information). Dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat, diiringi dengan terjadinya perikatan antar pihak yang dilakukan dengan cara pertukaran informasi untuk melakukan transaksi perdagangan secara elektronik di ruang lingkup maya (cyber).
Transaksi elektronik yang sering disebut sebagai “online contract” sebenarnya ialah transaksi yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer-based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication-based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet.
Akan tetapi kerap timbul dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi tersebut salah satu contohnya seperti pembobolan rekening nasabah secara online melalui dunia maya (cyber). Secara teknis, informasi dan/atau sistem informasi itu sendiri sangat rentan untuk tidak berjalan sebagaimana seharusnya (malfunction), dapat diubah-ubah ataupun diterobos oleh pihak lain. Untuk melindungi kerahasiaan informasi pribadi dari ancaman pelanggaran kerahasiannya, dibutuhkan keamanan data (data security), keamanan komputer serta jaringannya. Dalam Asosiasi Teknologi Informasi Kanada pada Kongres Industri Informasi Internasional 2000 di Quebec, pernah menyatakan bahwa :
Information technology touches every aspect of human life and so can electronically enabled crime”
Demikian pula perkembangan zaman banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan”. Kegiatan perbankan yang memiliki potensi kejahatan dunia maya antara lain adalah layanan online shopping (berbelanja secara online) yang memberikan fasilitas pembayaran melalui kartu kredit (credit card fraud). Jenis kejahatan ini muncul akibat kemudahan sistem pembayaran menggunakan kartu kredit yang diberikan online shop. “Modusnya ialah pelaku menggunakan nomor kartu            kredit   korban      untuk   berbelanja        di online          shop ”. Pelaku dapat saja memperoleh nomor kartu kredit korban dengan model kejahatan kartu kredit yang konvensional atau melalui dunia maya.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi selain juga  memberikan dampak poitif tentu pada sisi Iainnya telah membuka peluang baru atau bahkan fasilitas bagi para pelaku kejahatan untuk menggunakan nya sebagai instrumen melakukan kejahatan yang berdimensi dan modus baru di wilayah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi tersebut, oleh karena itu diperlukan pranata hukum yang dapat memberikan proteksi;
Berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE), terciptalah suatu bidang kajian baru dalam hukum menyangkut dunia maya (law in cyberspace). Kehadiran bidang baru ini membawa dampak perubahan bagi hukum di dalam hal kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang ada di dunia siber.
Jika dahulu, perbuatan-perbuatan merugikan di dunia siber sulit untuk dibuktikan, maka dengan keberadaan UU ITE ini dapat terbantu. Oleh karena dunia siber ada  dimensi yang berbeda dengan dunia nyata maka pengaturan hukum dalam dunia siber tentu berbeda pula.
Terdapat karakteristik-karakteristik teknologi informasi yang harus mendapat pengkajian hukum lebih lanjut. Salah satunya, tentang electronic mail ( e-mail). Dengan tegas UU ITE memberikan pernyataan bahwa email merupakan salah satu dari alat bukti yang sah (pasal 5 ayat (1) UU ITE).
Keberadaan email sebagai salah satu bentuk dokumen elektronik memiliki suatu identitas baru yaitu sebagai salah satu bentuk alat bukti baru di dalam hukum pidana. Lantas, bagaimanakah kedudukan email di antara alat bukti lain yang di atur dalam hukum pidana? 

  1. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah diatas, dengan demikian dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
    1. Bagaimana Kedudukan  Alat bukti E-mail dalam perkara Pidana?


BAB II
PEMBAHASAN

Kedudukan  Alat bukti E-mail  dalam perkara Pidana

  1. Teori Pembuktian.

“Menurut Pitlo, pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya”.71 “Menurut Subekti, yang dimaksudkan dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden)
  2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen)
  3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering)
  4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht)
  5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast)Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum)
  6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).


  1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie)
”Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman pertengahan yang ditujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang”.  Sistem ini berbanding terbalik dengan Conviction in Time, dimana keyakinan hakim disampingkan dalam sistem ini. Menurut sistem ini, undang-undang menetapkan secara limitatif alat-alat bukti yang mana yang boleh dipakai hakim. Jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun hakim ternyata berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Menurut D. Simmon, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim dengan peraturan pembuktian yang keras. ”Sistem ini disebut juga dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie)”. ”Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat”.83



  1. Alat-alat Bukti
  1. Jenis-jenis Alat Bukti menurut KUHAP
Setiap macam alat-alat bukti disebutkan secara limitatif didalam KUHAP dan diuraikan menurut urutan dalam Pasal 184 KUHAP, antara lain :
  1. Keterangan Saksi
Pada umumnya, setiap orang dapat menjadi saksi di muka persidangan. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, adalah sebagai berikut :
1)        keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
2)        saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Contoh orang yang harus menyimpan rahasia jabatannya misalnya seorang dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah mengenai hal yang dipercayakan kepada mereka, misalnya pastor agama Katolik Roma yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Menurut Pasal 170 KUHAP di atas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi...” maka berarti apabila mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. “Oleh karena itu, kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif”. Kekecualian menjadi saksi dibawah sumpah juga ditambahkan dalam Pasal 171 KUHAP, yaitu :
anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
  1. Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan yang kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Didalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. “Menurut Yahya Harahap, apabila keterangan ahli bersifat “diminta’, ahli tersebut membuat “laporan” sesuai dengan yang dikehendaki penyidik”.

 Laporan tersebut menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Oleh penjelasan Pasal 186, laporan seperti itu “bernilai sebagai alat bukti” keterangan ahli yang diberi nama alat bukti keterangan ahli “berbentuk laporan”. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, seorang ahli diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. “Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim”. “Menurut Yahya Harahap, pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat”.93 Hal ini diatur dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP yang menentukan salah satu yang termasuk alat bukti surat ialah “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Hal ini tergantung pada kebijakan hakim dapat menilainya sebagai alat bukti keterangan ahli “berbentuk laporan” atau menyebutnya sebagai alat bukti surat. “Kedua alat bukti tersebut sama­sama bersifat “kekuatan pembuktian yang bebas” dan tidak mengikat”.  ”Keterangan yang sekalipun diberikan oleh beberapa ahli namun dalam
  1. Surat
Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, didalam Pasal 187 diuraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari empat butir. Asser-Anema memberikan pengertian mengenai surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. “Sedangkan surat menurut Prof. A. Pitlo adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan”. Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
1)      berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
2)      surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3)      surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
4)      urat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Jenis-jenis surat ini tercantum dalam Pasal 187 KUHAP sebagai alat bukti yang sah di persidangan.
Pasal 187 butir (a) dan (b) diatas disebut juga akta otentik, berupa berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum, seperti notaris, paspor, surat izin mengendarai (SIM), kartu tanda penduduk (KTP), akta lahir, dan sebagainya. Pasal 187 butir (c), misalnya keterangan ahli yang berupa laporan atau visum et repertum, kematian seseorang karena diracun, dan sebagainya. Pasal 187 butir (d) disebut juga surat atau akte dibawah tangan.
“Menurut Martiman Prodjohamodjojo, Pasal 187 butir (d), adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannya dengan alat bukti yang lain, maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain”.98 Menurut Andi Hamzah, selaras dengan bunyi Pasal 187 butir (d), maka surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh surat ini adalah keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. “Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sehelai surat tanda terima (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa cukup sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir (d) KUHAP”. Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam pasal 187 huruf (a), (b), dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Dari segi materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht). Adapun alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain, asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari keterangan formil. Selain itu, asas batas minimum pembuktian (bewijs minimum) yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dengan demikian, bagaimanapun sempurnanya alat bukti surat, namun alat bukti surat ini tidaklah dapat berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat bukti yang sah lainnya guna memenuhi batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
  1.  Petunjuk
Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Yahya Harahap mendefinisikan petunjuk dengan menambah beberapa kata, yakni petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya dapat diperoleh dari : 1) keterangan saksi; 2) surat; dan 3) keterangan terdakwa.
Apabila alat bukti yang menjadi sumber dari petunjuk tidak ada dalam persidangan pengadilan, maka dengan sendirinya tidak akan ada alat bukti petunjuk. Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti yang lain yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Pasal 188 ayat (3), penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

  1.  Keterangan Terdakwa
Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Terhadap bunyi Pasal 189 ayat (2), Yahya Harahap mengatakan, bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah :
1)      keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan;
2)      dan keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;
3)      serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.
Pengakuan tersangka dalam tingkat penyidikan dapat dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. “Alasan klise dicabutnya pengakuan tersebut adalah karena tersangka disiksa oleh petugas penyidik”.


  1. Pengertian Barang Bukti
Barang bukti adalah barang atau benda yang berhubungan dengan kejahatan.
Barang atau benda tersebut dapat dikategorikan sebagai corpus delicti yang berarti barang-barang atau benda-benda yang menjadi objek delik dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan kejahatan. Ada pula yang termasuk barang bukti ialah barang-barang yang dikategorikan sebagai instrumenta delicti yang berarti barang-barang atau benda-benda hasil kejahatan, barang atau benda yang berhubungan langsung dengan tindak
pidana.
Barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Barang bukti dalam proses pembuktian biasanya diperoleh melalui penyitaan. ”Dengan penyitaan maka penyidik akan mencari keterhubungan antara barang yang diketemukan dengan tindak pidana yang dilakukan”. Barang bukti mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dari alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli (visum et repertum), maupun keterangan terdakwa. Misalnya sebuah benda berupa senjata api atau senjata tajam setelah disita menjadi barang bukti kemudian ditunjukkan dan ditanyakan kepada saksi dan saksi tersebut memberikan keterangan bahwa barang bukti tersebut oleh tersangka telah digunakan untuk melakukan pembunuhan atau penganiayaan. Demikian pula mayat korban pembunuhan setelah dilakukan pemeriksaan ilmiah oleh Ahli Kedokteran Kehakiman (Laboratorium Forensik) kemudian hasil pemeriksaannya dituangkan dalam visum et repertum yang isinya bersesuaian dengan keterangan saksi yang diperkuat oleh keterangan tersangka/terdakwa. Disamping itu, dengan diajukannya barang bukti di muka persidangan, maka hakim melalui putusannya dapat secara sekaligus menetapkan status hukum dari barang bukti yang bersangkutan, ”yaitu apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerimanya atau dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan kembali {Pasal 194 jo 197 ayat (1) huruf (i) KUHAP}”.105






















E.     Alat Bukti Email Dalam KUHAP

Keberadaan alat bukti sangat penting terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Menurut PAF Lamintang, orang dapat mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang. Tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.
Adanya alat bukti yang sah sangat penting bagi hakim pidana dalam meyakinkan dirinya membuat putusan atas suatu perkara. Alat bukti ini harus sah (wettige bewijsmiddelen).  Hanya terbatas pada alat-alat bukti sebagaimana di sebut dalam Undang-undang (KUHAP atau Undang-undang lain). UU ITE melalui pasal 5 ayat (1) dan (2) ternyata memberikan 3 buah alat bukti baru yaitu; Informasi elektornik, dokumen elektronik dan hasil cetak dari keduanya.
Email pun termasuk sebagai alat bukti yang diakui dalam UU ITE, yakni sebagai salah satu bentuk dari dokumen elektornik. Lebih lanjut UU ITE  ternyata memberikan ‘akte lahir’ dari alat bukti yang baru ini sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sebagaimana di atur dalam KUHAP.
Di dalam hukum acara pembuktian perkara pidana kedudukan alat bukti begitu penting mengingat alat bukti ini yang menjadi dasar pertimbangan hakim pidana untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya (pasal 183 KUHAP).
Hukum acara pidana mengenal 5 macam alat bukti yang sah yaitu:
1.      keterangan saksi;
2.      keterangan ahli,
3.      surat,
4.      petunjuk, dan
5.      keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).



Apabila melihat kelima bentuk alat bukti ini, email masuk dalam kategori alat bukti surat sebagaimana di atur dalam Pasal 187 KUHAP. Alat bukti surat yang dimaksud adalah :
1.      Berita acara dan surat lain, dokumen dalam bentuk yang sesuai dibuat pejabat umum yang berwenang;
2.      Surat yang di buat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan tentang suatu keadaan;
3.      Surat keterangan ahli yang diminta secara resmi;
4.      Surat lain yang hanya berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat pembuktian lain.


Melihat penggolongan alat bukti surat yang diakui KUHAP diatas, maka email dapat digolongkan sebagai surat yang hanya berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat bukti lain. Hal ini dikarenakan, email pada awal proses pembuatannya tidak dimaksudkan sebagai alat bukti dari suatu peristiwa. Jadi baru dapat dianggap berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat pembuktian lain.
Email merupakan alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri namun membutuhkan alat bukti lainnya. Misalnya alat bukti keterangan saksi yang mengetahui pembuatan email itu atau keterangan saksi ahli yang menerangkan keaslian email sebagai suatu alat bukti.
Oleh karena itu apabila ada perkara pidana dengan bukti berupa email, akan dinilai sangat kurang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan pada tersangka. Namun bukan berarti pelaku yang melakukan tindak pidana ini (penghinaan misalnya) bisa bebas seenaknya.
Aparat kepolisian harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk menemukan bukti-bukti kuat yang mendukung terjadinya peristiwa pidana. Bisa dengan memperoleh saksi-saksi yang mengetahui peristiwa email itu (provider/penyelenggara sistem elektronik) atau pun dengan pengujian keaslian email yang ditulis oleh tersangka.








BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Email merupakan alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri, namun membutuhkan alat bukti lainnya. Misalnya alat bukti keterangan saksi yang mengetahui pembuatan email itu atau keterangan saksi ahli yang menerangkan keaslian email sebagai suatu alat bukti.
Oleh karena itu apabila ada perkara pidana dengan bukti berupa email, akan dinilai sangat kurang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan pada tersangka. Namun bukan berarti pelaku yang melakukan tindak pidana ini (penghinaan misalnya) bisa bebas seenaknya.

Jumat, 10 September 2010

PERLINDUNGAN KONSUMEN AKIBAT IKLAN YANG MENYESATKAN DI MEDIA MASSA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam era globalisasi saat ini perkembangan komunikasi dan informasi berjalan sangat pesat sejalan dengan laju pembangunan di segala bidang. Hal tersebut menuntut suatu gerak manusia yang cepat, efisien, dan mudah agar segala kebutuhan dapat segera terpenuhi. Globalisasi informasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berkembang dengan baik karena cepatnya jaringan informasi.
Pesatnya pembangunan disegala bidang mendorong meningkatnya mobilitas gerak manusia yang cepat dan dinamis sehingga meminta penyampaian informasi yang cepat dan dinamis pula. Media  sebagai salah satu sarana dalam penyampaian informasi mempunyai berbagai jenis seperti media  cetak (koran, majalah, tabloid dan lain-lain) dan media  elektronik (televisi, radio, dan lain-lain).
Media  cetak sebagai salah satu media  merupakan sarana penyampaian informasi yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, pelaku usaha dalam memasarkan produknya dapat menggunakan media  cetak untuk pemasangan iklan.
Iklan merupakan salah satu bentuk penyampaian informasi mengenai barang dan atau jasa dari pelaku usaha kepada konsumennya, maka dari itu iklan tersebut sangat penting kedudukannya bagi perusahaan sebagai alat untuk membantu memperkenalkan produk atau jasa yang ditawarkannya kepada konsumen. Tanpa adanya iklan berbagai produk barang dan atau jasa tidak dapat mengalir secara lancar ke para distributor atau penjual, apalagi sampai ke tangan para konsumen atau pemakainya.
Agar produk yang  ditawarkan oleh pelaku usaha  memiliki nilai jual yang tinggi terkadang pelaku usaha menghalalkan segala cara. Salah satunya dengan melalui iklan yang memuat janji yang muluk-muluk mengenai kegunaan dan manfaat produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen meskipun pada kenyataannya bahwa produk tersebut kegunaan dan manfaatnya tidak sesuai dengan janji yang terdapat dalam iklan tersebut. Sehingga iklan tersebut telah membohongi konsumen atau masyarakat.
Untuk itu maka konsumen perlu diberikan suatu perlindungan khusus terhadap iklan-iklan yang menyesatkan. Perlunya peraturan yang mengatur perlindungan konsumen karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha, karena mengenai proses sampai hasil produksi barang atau jasa yang telah dihasilkan campur tangan konsumen sedikitpun. Sehingga kenyataannya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan.
Dalam kode etik periklanan menegaskan bahwa iklan itu harus jujur, harus dijiwai oleh rasa persaingan sehat. Iklan tidak boleh menggunakan kata “ter”, “paling”, “nomor satu” dan atau seterusnya yang berlebihan tanpa menjelaskan dalam hal apa keunggulan tersebut, dan harus dapat membuktikan sumber-sumber otentik pernyataan itu.1 Jadi untuk mencegah iklan yang merugikan konsumen perlu ada pengaturan yang mengatur mengenai periklanan.
Mengenai periklanan belum ada peraturan yang mengatur secara khusus,tetapi masalah iklan terdapat dalam beberapa pasal di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Pasal yang mengatur tentang periklanan sebagai sarana   promosi   seperti   Pasal  9,  Pasal  10,  Pasal  12,  Pasal  13,  Pasal 17, dan Pasal 20. Peraturan perundangan lain yang mengatur masalah periklanan ini adalah:
1.      Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
2.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
4.      Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
Meskipun ketentuan mengenai periklanan secara umum telah ada tetapi tidak diatur secara khusus, namun pada kenyataannya masih banyak terdapat pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Iklan Yang Menyesatkan Di Media Massa”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Apakah bentuk perlindungan hukum yang dapat dilakukan terhadap konsumen akibat iklan yang menyesatkan di media massa?
2.      Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha atas iklan yang menyesatkan di media massa ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1.      Tujuan penelitian
a.       Untuk mempelajari dan memahami bentuk perlindungan hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen akibat iklan yang menyesatkan di media  massa.
b.      Untuk mempelajari dan memahami pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan terhadap iklan yang menyesatkan di media massa dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2.      Kegunaan Penelitian
a.       Kegunaan teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen khususnya.
b.      Kegunaan praktis
1)      Memberikan informasi bagi masyarakat (konsumen) sebagai pengguna barang pada umumnya dan pelaku usaha atau produsen pada khususnya mengenai periklanan.
2)      Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam rangka penyempurnaan hukum mengenai periklanan dan ketentuan perlindungan konsumen.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bentuk Perlindungan Hukum yang Dapat Dilakukan oleh Konsumen Akibat Iklan yang Menyesatkan di Media Massa

Iklan merupakan sarana bagi konsumen untuk mengetahui barang dan/jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha dalam hal ini pengiklan, karena konsumen mempunyai hak, khususnya untuk hak untuk mendapat informasi dan hak untuk memilih. Bagi perusahaan iklan merupakan bagian dari kegiatan pemasaran produknya dan iklan dianggap berhasil apabila terdapat peningkatan jumlah pembeli produk yang ditawarkannya. Iklan adalah struktur informasi dan susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa, dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media.2 Menurut Sudarto dalam tulisannya berjudul “ Periklanan dalam Surat Kabar Indonesia” mengungkapkan bahwa menurutnya (defenisi) iklan adalah salah satu komunikasi yang harus memenuhi ke empat hal berikut:3
1.      Komunikasi tidak langsung
2.      Melalui media komunikasi masa
3.      Dibayar berdasarkan tarif tertentu
4.      Diketahui secara jelas sponsor atau pemasang iklannya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “menyesatkan” berasal dari kata “sesat” artinya “salah jalan; tidak melalui jalan yang benar”. Namun apabila kata “sesat” ditambah awalan “me-“ dan akhiran “kan” maka ia akan berubah menjadi kata “menyesatkan” yang mengandung arti “membawa ke jalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan)”.4 Sedangkan kata “iklan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti 1) berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; 2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar atau majalah.5 Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengenai iklan yang menyesatkan terkandung dalam Pasal 9, 10, 11, 12, 13 dan Pasal 17.
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa iklan menyesatkan adalah suatu berita pesanan yang mendorong, membujuk khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui kebenarannya yang pasti sehingga dapat merugikan konsumen. Dari pengertian iklan menyesatkan di atas, maka timbul pertanyaan, konsumen  yang mana dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut?.
Sebelum membahas tentang siapa pihak yang dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut. Tentunya perlu diketahui terlebih dahulu pengertian konsumen secara umum. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amarika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument, secara harfiah adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang  atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen mana pengguna tersebut.6
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH-Perdata) tidak ditemukan istilah konsumen, tapi berdasarkan pendirian Mahkamah Agung terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan, karena istilah ini agak dekat dengan istilah konsumen. Istilah-istilah tersebut antara lain “pembeli” (Pasal 1460, Pasal 1513, jo 1457 KUH-Perdata), “penyewa” (Pasal 1550, jo Pasal 1548 KUH-Perdata), “penerima hibah” (Pasal 1744 KUH-Perdata) dan sebagainya. Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) ditemukan istilah tertanggung (Pasal 246), “penumpang” (Pasal 393, Pasal 394 jo Pasal 341).7
Pembeli barang dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Kesemua mereka itu sekalipun pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir (untuk non-komersial) atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut.8
Menurut Kotler konsumen adalah individu atau kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.9
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hodius menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa. Dia ingin membedakan antara kosumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan kosumen terakhir.10
Menurut AZ Nasution dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar”, pengertian konsumen itu terdiri dari:11
a.       Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
b.      Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang/jasa untuk digunakan dengan tujuan tertentu membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
c.       Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Menurut UUPK memberikan pengertian mengenai konsumen dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 2 yaitu:
”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan untuk diperdagangkan”.12
Dalam penjelasan Pasal 1 butir 2 UUPK tersebut dijelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedang konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Dari  beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas bahwa konsumen yang dimaksud dalam perlindungan konsumen adalah konsumen akhir begitu pula dalam penulisan skripsi ini.
Konsumen selalu berada dalam posisi yang lemah, konsumen merupakan objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur dan melindungi konsumen.
Menurut AZ Nasution bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen, yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dan hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.13 Pada Pasal 1 UUPK dimaksud dengan Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan konsumen yang dilindungi adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Setelah diketahui tentang apa itu iklan yang menyesatkan dan siapa yang dirugikan, maka timbul pertanyaan baru, bagaimana upaya konsumen untuk mempertahankan hak-haknya yang telah dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut dan bagaimana perlundungan Undang-undang Perlndungan Konsumen melindungi hak-hak konsumen yang telah dirugikan tersebut. Undang-undang Perlindungan Konsumen isinya adalah mengatur prilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi. Salah satunya melindungi konsumen atas iklan yang menyesatkan konsumen.
Permasalahan akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik periklanan . untuk itu pelaku usaha periklanan  harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk menawarkan barang dan/jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari tindakan-tindakan curang yang dilakukan pelaku usaha. Mengenai pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur mengenai periklanan walupun tidak secara khusus.
Perlindungan hukum bagi konsumen atas iklan yang menyesatkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu dengan adanya pengaturan dalam Bab III Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen dan juga hak dan kewajiban pelaku usaha yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.
Dalam Bab IV merupakan upaya Undang-undang Perlindungan Konsumen untuk melindungi konsumen, yaitu terdapatnya aturan mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha yang mengiklankan produknya larangan-larangan tersebut dapat dilihat dalam Pasal-Pasal 9, 10, 12, 13 dan 17.
Dalam Pasal 20 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha periklanan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha periklanan yang curang.
Sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 22 dan Pasal 28 UUPK juga merupakan upaya untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha yang curang. Begitu pula adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 19 UUPK.
Bentuk lainnya untuk melindungi konsumen, yaitu dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang diatur pada Bab VIII Undang-undang Perlindungan Konsumen mulai dari Pasal 31 sampai dengan Pasal 43. Salah satu tugas BPKN adalah menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha.
Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam rangka melindungi konsumen selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, dalam Bab IX Pasal 44 memungkinkan di bentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). LPKSM ini mempunyai tugas salah satunya adalah membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan dari konsumen seperti YLKI dan YPKB.
Iklan yang menyesatkan atau yang tidak sesuai dengan kebenarannya merugikan konsumen, sehingga menimbulkan sengketa antara konsumen yang menuntut haknya terhadap pelaku usaha yang mengiklankan produk yang dijualnya. Mengenai penyelesaian sengketa ini diatur dalam Bab X tentang  penyelesaian konsumen. Upaya-upaya penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cara yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) yaitu penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat dilakukan dengan cara:
1.      Penyelesaian di luar pengadilan.
2.      Penyelesaian melalui pengadilan
Ad. 1. Penyelesaian di luar pengadilan
Pasal 47 mengatur mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diselenggarakan untk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak terutang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Penyelesaian di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan cara yaitu:
a.       Penyelesaian secara damai diantara mereka yang bersengketa.
b.      Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Cara penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa secara damai yang dimaksud adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen ini.
Cara penyelesaian secara damai ini merupakan bentuk penyelesaian yang mudah, murah dan (relatif) lebih cepat apabila dapat berjalan dengan lancar. Tetapi penyelesaian dengan cara ini membutuhkan kesabaran, saling pengertian dan menghormati hak-hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa. Penyelesaian dengan cara damai membutuhkan kemauan dan kemampuan berunding untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai.
Biasanya penyelesaian dengan cara damai ini jarang tercapai karena pelaku usaha sering mengelak karena mereka merasa mempunyai kekuatan yang lebih besar dari konsumen yang dirugikan. Dasar hukum penyelesaian secara damai terdapat pula dalam KUH Perdata Buku III, Bab 18, Pasal 1851-1854 tentang perdamaian (dading) dan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) jo, Pasal 47 seperti yang telah diuraikan di atas.
Penyelesaian sengketa melalui BPSK merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Bab XI dari Pasal 49 sampai dengan Pasal 58. BPSK merupakan lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di setiap daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 49 ayat (1)).
Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Setiap unsur tersebut diwakili sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 UUPK adalah sebagai melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen BPSK membentuk Majelis dengan jumlah anggota harus ganjil, yaitu terdiri dari sedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur dibantu seorang panitera. BPSK diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan itu diterima. Menurut Pasal 54 ayat (3) bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Majelis BPSK bersifat final dan mengikat. Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan oleh pelaku dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterima.
Ad.2 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
Dalam Pasal 48 Undang-undng Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa “penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK bersifat “final” diartikan tidak adanya upaya banding dan kasasi, yang ada “keberatan”.14 Apabila  pelaku usaha keberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh majelis BPSK, maka ia dapat mengajukan keberatannya itu kepada Pengadilan Negeri,  menurut Pasal 58 UUPK dalam jangka waktu 14 hari Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut. Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi luang waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan kasasi.
Cara mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha menurut Pasal 46 ayat (1) UUPK dapat dilakukan oleh:15
a.       Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya.
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c.       Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.      Pemerintah dan/atau instansi terkait.

Agar UUPK ini dapat dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, maka terdapat sanksi-sanksi yang dapat dikenakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini. Sanksi-sanksi tersebut diatur dalam Bab XIII UUPK dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:
a.       Sanksi administratif, diatur dalam Pasal 60. BPSK dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
b.      Sanksi pidana pokok, yaitu diatur dalam Pasal 62. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap:
1)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e dan Pasal 18 dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
2)      Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d, huruf f dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
c.       Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 63. Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
1)      Perampasan barang tertentu.
2)      Pengumuman keputusan hakim.
3)      Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen.
4)      Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
5)      Pencabutan izin usaha.

Berdasarkan Pasal 31 UUPK dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen maka dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Dalam rangka untuk melindungi konsumen Badan Perlindungan Konsumen Nasional melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.           Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
2.           Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
3.           Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
4.           Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
5.           Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
6.           Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
7.           Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu analisis bahwa dengan adanya UUPK ini maka sedikit banyak konsumen dapat terlindungi haknya. Disebutkan dalam Bab IV UUPK merupakan salah satu upaya dari undang-undang ini untuk menjangkau perlindungan tersebut. Dengan adanya aturan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk mengiklankan produknya. Dengan adanya aturan ini maka jelas diketahui pelaku usaha mana yang mengiklankan produknya secara tidak benar atau menyesatkan. Lebih lanjut dalam Pasal 20 UUPK dijelaskan tentang tanggung jawab pelaku usaha periklanan keberadaan pasal ini untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha periklanan yang curang. Karena dalam pasal tersebut adalah usaha undang-undang ini untuk menjerat pelaku usaha periklanan tersebut.

B.     Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Periklanan yang Menyesatkan di Media Massa

Menurut Kamus  Besar Bahasa Indonesia, pertanggungjawaban itu terdiri dari dua kata yaitu kata “tanggung dan jawab”jika digabung mengandung arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalu terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb) kemudian jika kedua kata tersebut ditambah awalan per- dan akhiran -an, setelah ditambah awalan dan akhiran tadi menjadi kata pertanggungjawaban. Kata pertanggungjawaban mengandung arti 1) perbuatan (hal dsb) bertangung jawab; 2) sesuatu yang dipertanggungjawabkan.16
Permasalahan akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik periklanan serta undang-undang lainnya yang terkait. Untuk itu pelaku usaha periklanan harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk menawarkan barang dan atau jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari tindakan-tindakan yang curang yang dilakukan pelaku usaha. Mengenai pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur mengenai periklanan walaupun tidak secara khusus.
Dalam kode etik periklanan yang disebut dengan Tata  Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia pada Bab II bagian A butir 1 tentang asas-asas umum periklanan mengatakan bahwa iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan bertanggungjawab tersebut maksudnya iklan tersebut tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat.
Setiap komponen pemasaran, yang terdiri dari; pengiklan, perusahaan periklanan dan media periklanan mempunyai tanggung jawab menurut peran dan bobot keterlibatan masing-masing dalam penciptaan dan penyebaran pesan-pesan iklan.
            1.      Pengiklan;  bertanggung jawab atas benarnya informasi tentang produk yang diberikan kepada Perusahaan Periklanan. Termasuk ikut memberi arah; batasan dan masukan pada pesan iklan, sehingga tidak terjadi janji yang berlebihan (overclaim) atas kemampuan nyata produk.
            2.      Perusahaan Periklanan; bertanggungjawab atas ketepatan unsur persuasi yang dimasukkannya dalam pesan iklan, melalui pemilahan dan pemilihan informasi yang diberikan Pengiklan, maupun dalam upaya menggali dan mendayagunakan kreativitasnya.
            3.      Media Periklanan; bertanggungjawab atas kesepadanan antara pesan iklan yang disiarkannya dengan nilai-nilai sosial-budaya dari profil khalayak sasarannya.
Jadi bentuk tanggung jawab tergantung pada bobotnya keterlibatannya. Pengiklan harus mempertanggungjawabkan produk dan/atau jasa yang ditawarkan, sehingga tanggungjawabnya berbentuk product liability dan profesional liability. Perusahaan iklan yang hanya membantu membuatkan suatu iklan tanggung jawabnya berbentuk profesional liablity. Begitu pula media periklanan sebagai penyedia jasa untuk menayangkan iklan pengiklan tanggung jawabnya berbentuk tanggung jawab profesional liability.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1981 tentang Pokok Pers menyatakan bahwa periklanan termasuk “keluarga pers”. Dalam Pasal 13 ayat (6) menegaskan bahwa ketentuan mengenai periklanan akan diatur oleh Dewan Pers. Periklanan termasuk keluarga pers maka sistem pertanggungjawaban menganut sistem water fall (sistem pertanggungjawaban air terjun) atau seperti istilah yang digunakan oleh Oemar Seno Adji sebagai pertanggungjawaban secara suksesi/berurutan. Sistem ini banyak memberi peluang pada atasan membebaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul dan membebankan tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul dan membebankan tanggung jawab kepada bawahan.17
Sistem pertanggungjawaban suksesif tersebut, kurang tepat bila diterapkan dalam bidang periklanan, karena dalam bidang periklanan tidak ada hubungan atasan bawahan antara pelaku usaha di bidang periklanan. Artinya semua pelaku usaha di bidang periklanan (pengiklan, perusahaan periklanan dan media masa) memiliki kedudukan yang sama dan berdiri sendiri serta tidak ada atasan dan  bawahan.
Menurut Machtum dari Majalah Gatra dalam Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Periklanan tanggal 4 September 1995 di BPHN Jakarta bahwa mengenai pertanggungjawaban materi iklan harus ada tanggung jawab renteng, artinya yang membuat, yang mengedarkan dan yang menadah (pengiklan, perusahaan iklan, dan media iklan) semuanya terkena tanggung jawab. Karena jika hanya yang membuat saja atau yang mengedarkan saja yang terkena tanggung jawab tersebut tidak adil. Jadi menurutnya Undang-undang Pers tidak sesuai untuk periklanan sehingga harus dicabut mengenai ketentuan yang mengatur periklanan.18
Dalam Undang-undang Pers yang baru Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 diatur mengenai larangan perusahaan iklan, yaitu terdapat dalam Pasal 13 seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Mengenai pertanggungjawaban iklan tidak disebutkan, namun di dalam penjelasan Pasal 12 Undang-undang Pers disebutkan bahwa penanggung jawab adalah penanggung jawab meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Pasal 12 mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penangung jawab secara terbuka melalui media bersangkutan.
Perusahaan pers sebagai media pemasangan iklan, maka perusahaan pers bertanggungjawab atas iklan yang dipasang dalam medianya. Tanggung jawab perusahaan pers yaitu berbentuk profesional liability, karena dia bertanggung jawab atas jasa pemasangan iklan pada medianya. Pasal 13 menyebutkan mengenai larangan-larangan iklan yang dimuat oleh perusahaan pers. Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka akan dikenai pidana denda sebanyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pers.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan mengenai periklanan secara jelas, tetapi ada pasal yang terkait mengenai informasi atas produk kesehatan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Pasal yang terkait itu adalah terdapat Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi “penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektifitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan”. Penjelasan pasal tersebut tampak bahwa informasi produk bagi konsumen dapat ditemukan dalam penandaan atau informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk dan/atau kreativitasnya, tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau menipu (iklan melawan hukum). Tanggung jawab atas iklan sedia farmasi dan alat kesehatan ini merupakan tanggung jawab seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan Pangan, mengenai iklan terdapat dalam Bab III tentang Iklan Pangan Pasal 44 sampai Pasal 58. mengenai pertanggung jawaban mengenai iklan pangan ini terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) yang mengatakan bahwa penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggung jawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah lebih dulu mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti kembali kebenaran isi iklan yang bersangkutan.
Jadi dalam Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan selain pengiklan (produsen, distributor dan retailer) yang bertanggung jawab atas iklan pangan adalah perusahaan iklan yang membuatkan iklan serta media periklanan yang menayangkan iklan tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan tidak terdapat mengenai bentuk pertanggungjawaban atas iklan, tetapi pada dasarnya semua pelaku usaha yang terlibat dalam iklan rokok tersebut mempunyai tanggung jawab atas iklan rokok yang dibuat sesuai dengan bobot keterlibatannya.
Dalam ketentuan pidana Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan jika ketentuan dalam Pasal 18 dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan barang siapa melanggar ketentuan Pasal 15, Pasal 20 dan atau Pasal 21 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
Jadi pada umumnya tanggung jawab atas iklan yang menyesatkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut baik pengiklan, perusahaan iklan, media periklanan. Mengenai bentuk tanggung jawab dapat berupa product liability atau profesional liability atau kedua-duanya tergantung bobot dan sejauh mana pelaku usaha itu terlibat dalam pembuatan iklan tersebut.
Proses terjadinya suatu iklan, baik melalui media cetak atau elektronik, pada umumnya inisiatifnya datang dari para pengiklan (produsen, distributor, suplier dan retailer). Kemudian perusahaan iklan dan/atau media periklanan dengan persetujuan pengiklan secara kreatif menerjemahkan inisiatif tadi dalam bahasa periklanan untuk ditayangkan atau dimuat dalam media sebagai informasi produk bagi konsumen luas. Masalah tanggung jawab muncul dalam hal:18
1.      Informasi produk yang disajikan iklan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2.      Menyangkut kreatifitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etika periklanan.
Dalam butir 1 di atas, yang bertanggung jawab adalah pengiklan, karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan pada konsumen melalui iklan. Konsumen dapat meminta pertanggungjawaban pelaku usaha didasarkan pada product liability.
Sebaliknya dalam butir 2, yang bertanggung jawab adalah pengiklan serta perusahaan iklan dan/atau media. Perusahaan dan media iklan ini tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih “kami hanya membuat dan menayangkan iklan, materinya tanggung jawab pengiklan”. Ketiga pelaku usaha tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara renteng apabila iklan yang ditayangkan menyesatkan konsumen, mengingat dalam peristiwa tersebut pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja.
Pelaku usaha dalam mengiklankan produknya di media cetak atau elektronik harus mempunyai itikad yang baik dan memenuhi prestasinya secara baik. Jika kemudian konsumen membeli produk yang diiklankan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan isi kebenaran yang ditayangkan dalam iklan tersebut, maka pelaku usaha tidak melakukan prestasi secara benar.
Jadi dengan demikian dapat dikemukakan bahwa apabila konsumen yang memakai barang yang diiklankan dan tidak sesuai dengan yang ditawarkan oleh pelaku usaha dalam iklannya, maka konsumen dapat menggugat pelaku usaha tersebut berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dan Bab X Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Upaya menggugat pelaku usaha karena telah melakukan perbuatan melawan hukum tidak perlu adanya hubungan langsung antara korban dan pelaku usaha, namun konsumen sebagai korban harus mampu membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut:20
1.      Telah melakukan perbuatan malawan hukum.
2.      Telah melakukan kesalahan.
3.      Telah menimbulkan kerugian terhadap konsumen.
4.       Terdapat hubungan kausal antara perbuatan hukum tersebut dengan kerugian yang diderita korban.
Dilihat dari kepentingan konsumen sebagai korban untuk memperoleh ganti rugi, maka konstruksi peraturan semacam ini jelas sangat memberatkan konsumen. Konsumen yang telah menjadi korban dari kesalahan pelaku usaha, tetapi ketika ia akan menggugat ganti rugi ia masih harus pula untuk membuktikan terlebih dahulu empat hal di atas. Hal ini dirasakan tidak adil bagi konsumen, karena kedudukan konsumen secara sosial ekonomi lebih lemah dibandingkan pelaku usaha. Oleh karena itu, untuk memungkinkan tanggung jawab pelaku usaha diperkenalkan ide tentang tanggung jawab pelaku usaha diperkenalkan ide tentang tanggung jawab mutlak (strict liability), yang diikuti dengan beban pembuktian dari konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum. Artinya, apabila konsumen akan menuntut pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum, konsumen tidak harus membuktikan kesalahan pelaku usaha karena dengan adanya strict liabiity pelaku usaha langsung dianggap bersalah dan unsur kesalahan langsung dibebankan pada pelaku usaha yang wajib membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Undang-undang Perlindungan Konsumen menganut prinsip tanggung jawab langsung (strict liability), yaitu dengan adanya tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab atas jasa (profesional liability) yang merupakan tanggung jawab produk perdata yang didasarkan dari tanggung jawab secara langsung. Tanggung jawab pelaku usaha tersebut tersirat dalam Pasal 7 sampai Pasal 11 dan lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini membuka peluang bagi konsumen agar dapat memperoleh suatu produk (barang dan/atau jasa) yang sesuai dengan yang dijanjikan dan sekaligus melahirkan tanggung jawab di pihak pelaku usaha (produsen) untuk memberikan ganti kerugian apabila produk yang diiklankan menjadi penyebab timbulnya kerugian di pihak konsumen.
Tanggung jawab tersebut timbul karena adanya kesalahan di pihak pelaku usaha (based on fault), karena karakter dasar strict liability pada dasarnya adalah perbuatan melawan hukum, maka unsur-unsur yang dibuktikan konsumen, yaitu:
1.      Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha.
2.      Unsur kerugian yang dialami konsumen dan ahli waris.
3.      Unsur adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian tersebut.
sedangkan unsur kelalaian atau kesalahan tidak menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikannya tetapi pelaku usahalah (produsen) yang harus membuktikan kerugian yang diderita konsumen dan bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya. Hal ini menyebabkan konsumen tidak lagi direpotkan oleh kewajiban untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian pelaku usaha dan kepentingan pelaku usaha tetap terlindungi apabila kerugian yang dialami oleh konsumen benar-benar bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya.
Di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ketentuan yang mengisyaratkan adanya tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7-Pasal 11, Pasal 19 ayat (1) UUPK secara lebih jelas dan tegas merumuskan mengenai tanggung jawab produk ini dengan menyatakan bahwa “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.
Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang tersebut menganut strict liability without false atau pertanggung jawaban tanpa pembuktian. Artinya jika konsumen akan menuntut kepada pelaku usaha, maka pelaku usaha langsung dianggap bersalah dan unsur kesalahan tersebut langsung dibebankan kepada pelaku usaha. Prinsip tanggung jawab langsung (strict libility) ini merupakan dasar dari bentuk tanggung jawab produk (product liability) dan profesional libility.
Undang-undang Perlindungan Konsumen menganut juga sistem pembuktian terbalik. Hal ini berarti bahwa beban pembuktian (ada atau tidak adanya kesalahan) berada pada pelaku usaha. Pasal 22 menegaskan beban pembuktian pada pelaku usaha dalam perkara pidana pelanggaran Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 dan Pasal 21 dengan tidak menutup kemungkinan jaksa untuk melakukan pembuktian. Selanjutnya begitu pula dalam perkara perdata ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 menyangkut pelanggaran Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23.
Mengenai tanggung jawab pelaku usaha periklanan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 20 yang mengatakan bahwa “pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan tersebut”. Semua pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas kebenaran isi dari iklan mengenai produk yang dipromosikan untuk memasarkan dan menawarkannya kepada konsumen, perusahaan iklan harus bertanggung jawab atas iklan yang dibuatnya atas hasil kreatifitasnya dan media periklanan bertanggung jawab atas penayangan iklan tersebut.
Berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 28 bahwa tanggung jawab untuk membuktikan adanya kesalahan atas iklan yang dibuat oleh pelaku usaha periklanan dan segala akibat yang ditimbulkannya adalah tanggung jawab pelaku usaha periklanan sendiri.21 Jadi pelaku usaha dianggap telah bersalah kecuali ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikannya, maka ia harus bertanggung jawab mengganti rugi atas kerugian yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi produknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu analisis bahwa pada umumnya tangung jawab atas iklan yang menyesatkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut baik pengiklan, perusahaan iklan, media periklanan. Mengenai bentuk tanggung jawab dapat berupa product liability atau profesional liability atau kedua-duanya tergantung bobot dan sejauh mana pelaku usaha itu terlibat dalam pembuatan iklan.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada Bab Pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pertanggungjawaban  pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) khususnya terdapat dalam Pasal 20. Sistem pembuktiannya adalah sistem pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 28. Prinsip pertanggungjawaban yang terdapat dalam UUPK adalah strict liability atau tanggung jawab secara langsung/mutlak. Tanggung jawab secara langsung tersebut tersirat dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 11 dan lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPK.
Pelaku usaha periklanan terdiri dari pengiklan, perusahaan iklan, dan media massa iklan. Semua pelaku usaha periklanan harus bertanggung jawab sesui dengan bobot keterlibatannya dalam proses pembuatan iklan.
2.      Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen atas iklan yang menyesatkan adalah dengan cara mengajukan gugatan. Mengajukan gugatan dapat dilakukan dengan :
a.       Seorang konsumen yang atau ahli warisnya.
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (clas action).
c.       Lembaga Perlindungan Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat.
d.      Pemerintah dan/atau instansi terkait.
Mengenai upaya penyelesaian sengeketa menurut UUPK dapat dilakukan dengan cara :
a.       Penyelesaian di luar pengadilan, yang dapat dilakukan dengan cara :
1)      Penyelesaian secara damai, yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen ini.
2)      Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK
b.      Penyelesaian melalui pengadilan sesuai dengan undang-undang tentang lembaga peradilan.

B.     Saran
Perlu adanya kerjasama antara konsumen, pelaku usaha, lembaga-lembaga konsumen dan pemerintah agar UUPK dapat diterapkan dengan baik sesuai dengan tujuannya serta perlunya kegiatan mensosialisasikan UUPK yang dapat dilakukan oleh siapapun baik pemerintah, pelaku usaha, lembaga-lembaga konsumen, Perguruan Tinggi, maupun instansi pemerintah dilingkungan masing-masing dengan melakukan penyuluhan kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban yang dimilikinya dan pelaku usaha supaya mengetahui batas-batas aturan yang tidak boleh dilanggar. Peranan lembagalembaga konsumen harus lebih ditingkatkan dalam melayani pengaduan, keluhan dan memberikan informasi kepada konsumen. Pemerintah atau instansi yang berwenang harus bertindak secara cepat dan konsisten sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam menanggapi pengaduan atas permasalahan konsumen.
















DAFTAR PUSTAKA


Depdikbud, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Liliweri, Alo, 1996, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Balai Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nasution, Az., 1995, Konsumen dan Hukum, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta.

___________, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Wedya, Jakarta.

Noviani, Ratna, 2002, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.  

Sofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Istrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Transkrip Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Periklanan, BPHN, Jakarta, 1995.

Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Jakarta, 19 Agustus 1996. disaksikan oleh Menteri Penerangan R.I. Harmoko, Kovensi Periklanan Nasional diselenggarakan oleh: Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMU), Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPSI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan Yayasan TVRI.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821 Tahun 1999.


 


1) Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Jakarta, 19 Agustus 1996. disaksikan oleh Menteri Penerangan R.I. Harmoko, Kovensi Periklanan Nasional diselenggarakan oleh: Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMU), Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPSI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan Yayasan TVRI.
2) Ratna Noviani, 2002, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar Yogyakarta. hal.22.
3) Sudarto dalam Alo Liliweri, 1996, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Balai Citra Aditya Bakti, Bandung. hal. 72.
4) Depdikbud RI., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. hal. 831.
5)  Ibid. hal. 322.
6) Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta. hal.25.
7) Ibid. hal. 9.
8) Ibid.
9) Kotler dalam Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta. hal. 63.
10) Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.  hal.2.
11) Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Wedya, Jakarta.  hal. 13.
12) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821 Tahun 1999.
13) Az. Nasution, 1999, Op Cit ., hal. 22.
14) Shidartha, Op.Cit., hal. 143.
15) UUPK. Pasal 46 ayat (1)
16 Depdikbud RI., Op. Cit., hal. 899.
17) Oemar Seno Adji dalam Yusuf Sofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Istrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti. hal. 155.
18) Transkrip Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Periklanan, BPHN, Jakarta, 1995. hal 15.
18) Yusuf Sopfie, Op.Cit., hal. 156.
20) Ibid. hal. 157.
21) Az. Nasution, 1999, Op.Cit. hal. 232.